Pengalaman Pribadi: Bagaimana TB membuatku Cacat Seumur Hidup

Ini adalah sepenggal perjalananku yang dirasa sedikit menarik untuk diambil hikmahnya. Kronologi lumayan panjang, kutulis detail berdasarkan ingatan stagnanku.😁
 
Lebih dari 150 ribu kasus TB di Indonesia tiap tahunnya, dengan tingkat kematian lebih tinggi daripada covid.
Dan aku adalah salah satu penyintas TB.

Semoga semua yang sakit segera pulih. Aamiin..

Bisa bernapas dengan baik, bisa makan apa saja, memiliki anggota tubuh lengkap, adalah hal kecil yang jarang kita syukuri. Mungkin itu juga yang terjadi padaku dulu.
Tahun 2006, saat SMA, pola hidupku sangat buruk. Hobiku begadang kadang sampai jam 3 pagi, mandi malam, makan tidak teratur, dan sedikit depresi. Hasil dari itu semua, daya tahan tubuhku menjadi lemah dan mulai menderita batuk parah di tahun 2007.
Seminggu, 2 minggu, aku batuk, sudah diajak ke dokter oleh ortu, tapi keras kepalaku bilang nanti juga sembuh. Hingga akhirnya 1 bulan batuk semakin parah, kalau tidur juga berkeringat, tubuhku semakin kurus dan aku menyerah. Pergilah kami ke dokter umum, dokter menyarankan rontgen, setelah rontgen, baru tahu kalo aku menderita TB.
Saat itu posisi udah di penghujung kelas 3, mendekati ujian. Aku diberi pil dan kapsul 7 rupa dengan ukuran yang besar-besar, harus diminum selama 6 bulan, dan gak boleh ada yang bolong. Sempat berobat ke bidan juga, yang katanya bagus di daerahku, waktu itu aku diberi susu kuda liar..wkwk. Berbagai upaya lain kami jalani seperti pijat refleks, bahkan ke 'orang pintar' karena ortuku dibilangin tetangga mungkin aku 'keracunan' lihat kondisiku yang seperti itu.😆
Lepas ujian, batuk yang parah semakin parah. Untungnya waktu itu libur, jadi aku tepar di rumah, melakukan isolasi di kamar sendiri, bermodalkan kantong plastik tiap hari untuk buang dahak. Percayalah ini sangat menyengsarakan; batuk dengan jeda waktu yang pendek dan terus menerus, membuatku tak bisa tidur, tidak nafsu makan, dan posisi tulang dada serta bahuku mulai meninggi. Sampai tidak jadi datang perpisahan sekolah karena pas nyobain kebaya, ibuku menangis, lihat tubuhku yang tinggal kulit pembalut tulang. Udah gak cocok dipakein kebaya.
Pernah lupa cara berjalan, karena terus tepar di kasur. Beberapa hari kakiku sangat sakit saat berjalan. Luar biasa sekali nikmat sakit ini.

6 bulan berlalu, batukku sudah hilang, dan dinyatakan sembuh oleh dokter. Waktu itu sudah masuk kuliah. Posisi sedikit jauh dari ortu karena aku kuliah di Kota Bengkulu dan ortu tinggal di Kota Curup. Mulai saat itu aku belajar mandiri mengurusi diriku sendiri.
Selang beberapa bulan, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba aku batuk dan mengeluarkan darah. Aku cemas, tapi belum berani lapor ortu takut mereka kepikiran. Kemudian selang beberapa minggu, batuk berdarah terjadi lagi. Akhirnya aku memberanikan diri untuk memberi tahu ibuku, belajar dari pengalaman, tak boleh keras kepala saat sakit.
Kami lanjut ke dokter lagi, kali ini dokter yang berbeda, dan juga dokter umum. Kuceritakan pada dokter riwayat penyakit TB ku. Dan aku divonis TB lagi oleh dokter tersebut. Saat itu posisiku sudah tidak batuk lagi, hanya sesekali batuk mengeluarkan darah dengan jeda waktu yang bisa berminggu bahkan berbulan-bulan. Dan.. kembali minum obat TB 7 rupa selama 6 bulan tak boleh bolong.
Tapi kali ini ada yang berbeda dengan obatnya, ada beberapa obat yang baunya tidak enak dan menyengat.
Nah, ini adalah awal penderitaan keduaku dengan masalah TB ini. Setiap malam usai minum obat, aku merasakan saluran dadaku menyempit, gatal, dan bengkak-bengkak luar biasa pada sekujur tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sungguh menyiksa, mau digaruk takut membekas dan tambah jadi, lalu kubawa tidur walaupun susah. Berhari-hari menanggung ini, sampai pernah wajahku berubah. Semua yang di wajahku bengkak kecuali hidung; mataku menjadi sipit, bibirku menjadi tebal, pipiku bengkak. Saat masuk kelas, aku dikira anak kelas lain oleh teman-temanku karena sulit dikenali. Sampai berpapasan dengan teman di jalan pun, yang biasanya teguran malah seperti tidak kenal. Kadang ada rasa ingin mengerjai teman-temanku mumpung kondisi wajahku seperti ini. Tapi aku sadar, ini penyakit dan harus segera ditanggulangi. Selama seminggu wajahku berubah, aku lapor lagi ke ortu, dan pergi ke dokter lagi.
Aku dinyatakan alergi obat oleh dokter, tapi dokter tidak mengganti obat TB ku. Dokter memberikan tambahan obat, yaitu obat alergi. Aku lupa nama obatnya apa, tapi seingatku warnanya pink dan ukurannya kecil, bulat pipih. 
Tiap usai minum obat TB, jika merasakan saluran dada menyempit, aku minum obat anti alergi. Sehingga bisa ditangani, begitulah setiap hari. 
Jika pertama kena TB penderitaanku adalah batuk parah, maka pada saat dinyatakan TB kedua kalinya, penderitaanku adalah minum obat. Obatnya bau, tiap minum obat aku kena alergi parah. Hingga pada saat minum obat terakhir, saat itu bulan puasa, malamnya usai minum obat aku langsung muntah di tikar. Semenjak itu aku trauma minum obat. Aku benci lihat obat dan tidak pernah minum obat lagi. Apapun penyakitku, aku mengandalkan daya tahan tubuhku dan makanan yang aku konsumsi, walaupun proses penyembuhan lebih lama.
Kembali lagi ke batuk (sepertinya ini kata kunci penderitaanku). Selang beberapa bulan kemudian aku batuk berdarah lagi. Tidak banyak darahnya, batuknya pun cuma sekali. Setelah itu tidak batuk-batuk lagi. Tapi tidak berani bilang ke ortu dan sebenarnya sudah tidak mau minum obat lagi, jika itu TB lagi.
Cuman bisa cerita ke teman dekat, Lia dan Veny. Mereka mengantarku ke pengobatan alternatif pijat refleks selama 3 hari berturut-turut. Terima kasih kawan-kawanku.
Veny & Lia
 
Saat kuliah, aku juga aktif di organisasi. Pernah sibuk sebagai panitia Musywil IPM di gedung dakwah Muhammadiyah, 2 hari berturut-turut begadang dan di ruangan AC, tiba-tiba aku ingin batuk. Saat ke kamar mandi, batukku ternyata parah dan banyak mengeluarkan darah. Aku terdiam, namun berusaha tetap tenang karena setelah itu tidak batuk-batuk lagi. 
Kupelajari pola yang membuatku kambuh batuk berdarah berulang; AC, begadang, kecapekan. Hingga aku tidak lagi aktif di organisasi apapun dan fokus kuliah, kebetulan udah masuk semester akhir.
Tidak ada kambuh-kambuhan lagi, paling sesekali kalau aku begadang parah berhari-hari dan kecapekan, itupun tidak banyak.
KKN di depan mata, pas bulan puasa. Aku ditempatkan di sebuah desa di Seluma bersama 9 teman lainnya. Beberapa minggu kami sibuk dengan program, akhirnya suatu malam aku terbatuk parah lagi dan darahnya juga sangat banyak. 1 orang teman KKN ku mengetahui dan menyiramkan darahku dengan air seember, kemudian bilang jangan kasih tau yang lain. Mungkin takut yang lain panik.😄
Bagaimana pola hidupku saat kuliah? Tak jauh beda dengan SMA, seolah tak belajar dari pengalaman. Begadang adalah kebiasaan, kadang pagi baru tidur. Apalagi saat itu ada banyak teman 1 asrama dan 1 kos, kadang kami nobar atau main song(main kartu) sampai lupa waktu. Tapi kuusahakan tidak mandi malam lagi.
Setelah itu tak ada lagi kambuh-kambuhan sampai aku tamat kuliah. Semua sudah aman, paling sesekali ketika aku benar-benar kecapekan dan tidak sengaja begadang. Itupun dengan volume darah yang sedikit. Batuk juga tidak pernah lagi. Dalam 2 tahun, mungkin cuma sekali aku kambuh. Tak pernah parah-parah lagi. Dan aku menemukan 1 lagi pemicu kambuhku: ketika aku sangat stres dan sangat sedih. Namun darahnya tidak banyak, paling cuman sekali dua kali batuk.
2017 akhir, setelah beberapa bulan pindah kamar ke lantai atas rumah ortuku karena ingin fokus jualan online. Posisi waktu itu aku juga baru lulus tes sebagai pendamping PKH. Aku batuk berdarah lagi, volume darah banyak, bisa sampai 3-5 kali sehari. Awalnya tidak mau cerita ke ortu, pikir berhenti sampai hari itu aja. Eh besoknya ngulang lagi, dengan volume darah yang masih banyak. Aku merasa depresi, sempat cek di google mengenai batuk berdarah, malah kutemukan TB atau kanker paru, aku terdiam dan berdoa semoga ini baik-baik saja. Akhirnya yang selama ini kurahasiakan terbongkar juga, aku cerita ke ortu kalau aku batuk berdarah parah, dan kali ini tak berhenti. Aku langsung diajak ke rumah sakit, dan tes dahak. Selama seminggu aku batuk berdarah parah, pernah ikut wawancara dan penandatanganan surat perjanjian di sekre PKH, usai wawancara aku langsung keluar karena ingin batuk. Di samping sekre yang sepi, darah kembali keluar banyak. Setelah itu aku langsung pulang dengan membawa motor, diperjalanan aku menangis. Kuceritakanlah kepada sahabatku Lia. Lia menyarankan ke dokter spesialis paru di Bengkulu, Dokter Mirna. Yang di rumah sakit aku tinggalkan karena perawatnya ketus.😆 Hasil tes dahakku juga negatif TB, artinya aku tidak TB.
Kepada dokter Mirna, aku menceritakan kronologis penyakit TB ku yang sempat 2 kali. Kemudian ditanya, apa aku minum obatnya teratur dan gak bolong, aku jawab iya. Aku tak pernah melewatkan obat seharipun, karena aku ingin sembuh. Nah, disini letak kesalahannya. Ternyata minum obat TB itu cukup 6 bulan sudah dinyatakan sembuh, berarti tidak perlu minum obat lagi. Begitu penjelasan dokter. Hei, apa kabar penderitaan gatal-gatalku waktu itu, gegara minum obat lagi? berarti dokter umum waktu itu kemungkinan besar salah vonis, astaga.🙄
Dokter Mirna memberikan obat untuk menghentikan darahku, ini pertama kalinya aku minum obat lagi selama bertahun-tahun karena trauma dan dokter juga memberi rujukan untuk CT scan di Rumah Sakit. Karena kalau hanya di rontgen, mungkin tidak kelihatan.
Akhirnya beberapa hari kemudian pendarahan di paru-paruku sembuh, sebulan kemudian aku CT scan (pakai BPJS) di RS ditemani sahabatku Lia. Pengalaman perdanaku CT scan, dan semoga yang terakhir. Awalnya disuntik dulu, kemudian lanjut CT scan. Dan dari pengalamanku, rasanya benar-benar tidak enak, ada rasa ingin teriak, seperti ada yang berjalan di dalam tubuh ku dari bahu sampai kaki. Ternyata begini rasanya CT scan. Usai CT scan, aku tidak buang angin selama seminggu dan merasa lemot serta stagnan.
CT scan di RS M. Yunus
 
Saat hasil CT scan keluar, kami langsung ke dokter Mirna lagi. Dokter mengecek hasilnya, dan disinilah aku baru tahu penyakitku selama ini.
Jika versi Letto ada Lubang di Dalam Hati, maka versiku ada Lubang di dalam Paru-paru. Dokter Mirna menunjukkan lubang/bolongan itu pada hasil CT scan dan memvonis bahwa aku terkena cacat paru permanen. Hal ini terjadi dikarenakan penyakit TB parahku tahun 2007. Jadi sebenarnya aku sudah lama mengidap cacat ini, dari tahun 2008.
Tak ada pantangan makan, aku bisa berlaku seperti layaknya manusia sehat yang lain. Namun yang harus kuhindari adalah debu, begitu kata dokter.
Dan kuingat-ingat, memang di kamarku lantai atas selalu banyak debu beterbangan, karena kelang 1 rumah dari rumah ortuku ada tempat penggilingan padi dan kopi yang hampir setiap hari memproduksi debu. Pantasan yang kali ini parah.
Usai kejadian ini, aku tak sering kambuh-kambuh lagi. Paling dalam dua tahun itu cuman sekali, kalau aku sedang benar-benar lelah, dan itupun tak banyak, hanya sekali batuk. Sempat takut menikah, takut punya pasangan perokok, takut merepotkan orang lain. Namun semua itu dipatahkan ketika ada teman lama yang mendekati, kusampaikan penyakitku ini agar dia mundur. Tapi dia malah semakin maju, bahkan berhenti merokok. Akhirnya aku menikah di tahun 2021.
Pernah penyakitku kambuh sesekali, suamiku malah menangis melihatku yang batuk berdarah namun tetap santai-santai dan tertawa. Ah, ini bukan hal menakutkan lagi bagiku.
Hingga akhir tahun 2022 kemaren, aku sempat demam tinggi 3 hari, sakit kepala, kemudian batuk dan pilek, seluruh sendiku sakit, lidah pahit, tak berselera makan. Berat badanku langsung turun 3 kg. Beberapa hari batuk, bahkan tanpa jeda. Aku sampai menangis karena kondisinya hampir mirip dengan batuk sewaktu aku terkena TB, benar-benar melelahkan. Batuk terus-menerus sampai tak tidur, setiap mau tidur aku batuk, jadi benar-benar tidak ada waktu untuk tidur. Sungguh melelahkan sekali. Siangnya saat aku batuk-batuk, dan yang keluar bukan dahak lagi, tapi darah. Dan kondisi ini lebih parah daripada akhir tahun 2017.
Jika akhir tahun 2017 dulu aku hanya batuk kalau ingin mengeluarkan darah(paling 3-5 kali sehari), maka akhir tahun 2022 ini aku menderita batuk parah dengan jeda waktu sangat pendek (tidak sampai semenit), dan setiap batuk mengeluarkan darah. Malam tak bisa tidur, batuk terus sambil mengeluarkan darah. Dan aku menemukan satu pemicu baru lagi: batuk tak berhenti sampai tak bisa tidur.
Akhirnya kami kembali ke dokter Mirna, setelah 5 tahun ini tidak kesana lagi. Usai konsultasi, dokter memberikan antibiotik dan penghenti pendarahan. Dokter mengatakan kemungkinan kali ini pembuluh darah yang pecah adalah pembuluh darah yang berukuran besar. Dokter menyuruh bed rest, sekaligus memberikan rujukan, jika pendarahan terus berlangsung usai minum obat, aku disuruh rawat inap di RS.
Besoknya pendarahan berhenti, tinggal batuk berdahak saja. Aku sudah mulai lega. Tapi malamnya berlanjut lagi, dan parah lagi.
Paginya, suamiku langsung membawaku ke IGD RS untuk penanganan lebih lanjut.
Pengalaman pertamaku masuk RS untuk rawat inap dan diinfus, aku masih cengir kuda sama suamiku. Ini adalah pengalaman pertamaku, mungkin memang aku harus merasakan dan menikmatinya.
3 hari dirawat di RS, untuk pertama kalinya aku menjadi pasien rawat inap, untuk pertama kalinya aku diinfus, dan untuk pertama kalinya aku makan makanan rumah sakit. Semoga ini juga yang terakhir.
3 kali sehari aku diberi obat lewat jalur pernapasan (katanya di nobu), perawatnya juga baik dan masih muda. Kayaknya alumni UMB, eh sama.
 
Masih sempat pose di RS

Rasa tidak betah berlama-lama di ruang rawat yang ternyata ruang isolasi (btw waktu itu aku 1 ruangan dengan penderita TB kronis), membuatku ingin cepat-cepat keluar dari RS. Kebetulan hasil tes dahakku negatif MTB, artinya aku bukan penderita TB.
Dokter pengganti dokter Mirna (karena dokter Mirna sedang keluar kota) menawarkanku pulang, dengan senang aku menjawab iya. Aku benar-benar ingin pulang karena gerah tak mandi-mandi saat di rawat. Walaupun sebenarnya masih ada darah sedikit-sedikit tiap aku batuk. Aku masih disuruh bed rest, tidak boleh ngomong dan diberi obat lagi.
Hal yang paling kubenci adalah minum obat, dan di rumah sudah banyak sekali obat. Tapi tak ada yang kuminum, karena tiap usai minum obat aku muntah (maaf dokter). Alhasil, aku punya banyak koleksi obat yang sebagian sudah disembunyikan suami karena melihatnya saja aku ingin muntah.
Saat itu tahun baru 2023, mudah sekali mengingatnya.
Seminggu keluar RS, batukku masih ada darahnya, tapi tidak terlalu banyak lagi, dan warnanya agak cokelat. Batuk berdahak terus berlanjut walaupun tidak separah yang kemaren-kemaren. Sampai sekarang, batukku masih berlanjut dan aku menjadi jompo; jalanku lambat seperti keong dan kerapkali dicandai suami seperti nenek-nenek😆. Tiap hari suami menyediakan kantong plastik untuk tempat dahak ( maaf jorok..hehe).
Pernah mencoba keluar rumah motoran dibonceng suami jalan dekat-dekat lingkungan karena sudah benar-benar bosan di kamar aja gak ngapa-ngapain, pulangnya batukku semakin parah, dan takut kambuh lagi. Akhirnya sampai sekarang aku masih stay di rumah dengan posisi batuk yang belum juga sembuh, dada terasa berat, nyeri, jompo, dan dalam keadaan mengandung pada TM 1 yang menambah poin kelemahanku (mual, muntah, sakit kepala, sakit pinggang, kram perut, dan seluruh tubuh tidak enak). Semoga tidak lama lagi segera pulih, terutama batuk ini, karena kakiku sudah gatal ingin jalan keluar dan bekerja.
TB memberikanku hadiah, cacat paru yang harus kutanggung seumur hidup. Semoga ini yang terakhir kambuh parah seperti ini, solusinya adalah aku harus menghindari pemicunya: AC, begadang, terlalu capek, terlalu sedih, stres, dan batuk.
Fyi, cacat ini tidak menghambat semua aktivitasku (kecuali saat kambuh). Karena sepanjang tahun 2008 sampai 2021 sebelum menikah, aku bisa menikmati masa mudaku dan melakukan yang aku suka. Aku sering naik turun gunung, masuk-masuk hutan, dusun, dan perkebunan dengan medan yang sulit. Sering motoran sendirian keluar kota, melakukan perjalanan jauh antar provinsi bahkan antar pulau, pernah juga masuk dan tinggal ke kota besar sendirian bermodalkan map dan cari teman baru. Sepanjang itu syukurnya tak ada kambuh-kambuhan parah. Hal yang sangat kusyukuri untuk masa mudaku yang memuaskan.

Terima kasih banyak orang-orang terdekatku yang selalu mensupport untuk sembuh.
Ibu dan ayah yang selalu siaga jika aku sakit, ibu yang bela-belain naik travel sendirian ke Bengkulu waktu tau aku masuk RS, karena ayah juga dalam pengobatan.
Suamiku yang menjadi saksi bagaimana parahnya yang kualami, yang setia mengurusku, sampai harus tidur di lantai dengan tikar saat menjagaku.
Ayah dan ibu mertua yang selalu menanyakan kondisiku, setiap hari datang ke RS walaupun hujan deras, memasakkan makanan, membawakan air panas, dan membawa keperluan yang kurang untuk menginap. Pernah pecah ban motor di jalan malam-malam saat pulang dari RS. Kalian luar biasa.
Lia dan Veny yang selalu ada saat aku kambuh di masa kuliah karena aku tak berani cerita pada siapapun selain kalian. Yang setia menemaniku bolak-balik RS, dan selalu cemas ketika aku kambuh.
Ratih dan Evi, yang tahan tak pakai kipas angin di udara yang sepanas Riau selama 2 tahun, demi aku. Maaf ya kawan...😅
Mawadah, yang ketika tahu aku sakit langsung ngirim madu dan obat herbal dari Bima.😁
Kalian semua luar biasa.


Jangan remehkan TB, Jendral Soedirman pernah ditandu dan meninggal karena TB.




1 comment

  1. Semoga cpt sembuh ya mbak nia ....
    Walau terdengar klise, ini tulus dr hati saya

    ReplyDelete