Pernikahan Lintas Agama



Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.... (QS. 30:21)

Kami tidak melihat (cara yang lebih baik) bagi dua orang yang sedang jatuh cinta selain menikah.
(HR. Ibnu Majah)


Indonesia adalah negara maritim, terdiri dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke dengan predikat wilayah terluas nomor 13 sedunia menurut Wikipedia.  Maka jelas bahwa banyak terdapat perbedaan kultur budaya, bahasa, suku, ras, begitu juga dengan keyakinan di dalam masyarakatnya.
Kali ini saya akan membahas mengenai “Pernikahan beda Agama” dari sudut pandang Fiqh Islam dan dari sudut pandang saya sendiri.😅
Sambil mengetik ini, saya juga sedang mendengar lagu Marcell yang berjudul Peri Cintaku.. hmmm..cucok banget buat judul yang sedang saya bahas ini..hehe
aku untuk kamu
kamu untuk aku
namun semua apa mungkin
iman kita yang berbeda
Tuhan memang satu
kita yang tak sama....

Ok, dalam menjalani kehidupan sebagai sesama manusia apalagi dalam lingkungan yang tidak semua warganya muslim maka ada baiknya kita tetap toleransi, menghormati kepercayaan mereka, dan tidak mengganggu atau menggunjing proses ibadah mereka. Itu sih yang saya ingat waktu belajar PPKn di Sekolah Dasar dulu. Karena perbedaan itu indah dan perbedaanlah yang menyatukan kita semua sesuai dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika di kaki burung Garuda.
Di dalam Al Quran dikatakan,

      "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku" (Al Kafirun :6)

Juga dari tokoh favorit saya Ahmad Wahib,

"Saya bukan nasionalis, bukan Katolik, bukan sosialis. Saya bukan Budha, bukan Protestan, bukan westernis. Saya bukan komunis. Saya bukan humanis. Saya adalah semuanya itu. Mudah-mudahan inilah yang disebut Muslim.…"(Ahmad Wahib, 9 Oktober 1969)



Nah, sekarang bagaimana kalau hubungan spesial beda agama?? Sekilas kalau tidak pake mikir, kita pasti sudah bilang, “sebaiknya jangan deh… “

Tapi bagaimana kalau sudah terlanjur cinta? Wah, kalau ngomong masalah cinta pasti beraaat nih.. 

Dalam khayalan saya kelihatan makhluk-makhluk entah itu virus, bakteri, monyet, atau hantu, semuanya berwarna pink. Hahaha

Kali ini serius, pernikahan adalah untuk seumur hidup, penentuan takdir. Pernikahan bukan  hanya menyatukan dua insan yang berbeda,  namun juga menyatukan dua keluarga. Mungkin agak sedikit rumit dan membingungkan menyatukan dua hal yang jelas-jelas berbeda, ibarat bakiak sama sandal jepit, kalau dipake pasti jalan kita jadi pincang alias tidak lurus. Jadi, sebelum memutuskan untuk menikah dengan lelaki atau perempuan beda agama, mestilah dipikirkan lebih banyak manfaatnya atau sebaliknya, lebih banyak mudharatnya. Sebagian orang berpendapat bahwa menikah beda agama lebih banyak mudharatnya dengan alasan :
  •  Dapat terjadi pemurtadan bagi umat Islam
  • Hancurnya rumah tangga akibat konflik ideologis dan akidah
  •  Pertaruhan agama dan anak keturunan 

Berikut versi ulama mengenai pernikahan beda agama, cekidot!

VERSI ULAMA

Dalam ajaran Islam, pernikahan beda agama yang diperbolehkan adalah antara lelaki muslim dengan perempuan non muslimah dikarenakan di dalam membina rumah tangga, lelaki lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dengan istri. Dikatakan demikian karena lelaki adalah pemimpin dalam rumah tangga. Namun perlu ditekankan bahwa lelaki tersebut haruslah memiliki kualifikasi iman, Islam dan kepribadian yang bagus. 
Sementara untuk pernikahan antara perempuan muslimah dengan lelaki non muslim ulama sependapat bahwa hukumnya haram.

Al Quran membagi kelompok non muslim yang akan dinikahi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok musyrik, kafir, dan ahlul kitab

1. Menikahi Kelompok Musyrik
        Musyrik itu artinya menyekutukan Allah atau mengakui ada Tuhan yang lain selain Allah. Maka setiap muslim atau muslimah dilarang menikah dengan orang musyrik, kecuali jika ia bisa menjadikan Allah satu-satunya Tuhan mereka alias menjadi mualaf.
Mari kita simak dulu ayat berikut,

“dan janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya perempuan budak yang mukmin lebih baik daripada perempuan musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan laki-laki musyrik dengan perempuan-perempuan mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. 2:221)

2. Menikahi Kelompok Kafir
         Kafir umumnya dimaknai semua orang yang bukan muslim yang mengingkari Allah SWT. Sama dengan musyrik tadi, ulama sependapat bahwa orang kafir mutlak tak boleh dinikahi.
….dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkannya di antara kamu. Dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. (QS. 60:10)

3. Menikahi Ahlul Kitab
       Ahlul kitab adalah kelompok penganut agama yang memiliki kitab suci atau penganut agama-agama samawi, seperti Yahudi dan Kristen karena kedua agama tersebut masih satu rumpun dengan Islam (agama wahyu). 
Selain itu, Majusi (Zoroaster), Konghucu, Budha, dan Hindu menurut pembaharu Islam Abul A’la al-Maududi juga tergolong ahlul kitab karena mereka diduga pada mulanya memiliki kitab suci. 
Sebagian ulama membolehkan menikahi perempuan ahlul kitab berdasarkan firman Allah,
….dan dihalalkan bagi kamu menikahi perempuan-perempuan terhormat dari orang-orang yang diberi kitab atau ahlul kitab sebelum kamu, apabila kamu telah memberikan kepada mereka itu maskawin mereka dengan maksud menikahinya tidak dengan maksud berlaku serong (berzina), dan tidak pula untuk menjadikan mereka sebagai gundik…. (QS. 5:5)

          Sebenarnya para ulama masih berbeda pendapat mengenai ahlul kitab yang dimaksud oleh ayat tersebut.
          Sebagian ulama membatasi ahlul kitab pada zaman Rasulullah SAW saja, sebagian lagi meyakini bahwa makna ahlul kitab mencakup semua penganut Yahudi dan Kristen hingga sekarang dengan syarat perempuan ahlul kitab tersebut haruslah perempuan terhormat atau perempuan baik-baik yang menjaga diri dari perbuatan zina, karena Allah melarang menikah dengan sembarang perempuan ahlul kitab. Selanjutnya, perempuan tersebut bukan termasuk kaum yang memerangi Islam, dengan harapan perempuan tersebut pada akhirnya dapat terbuka hatinya atas kesadaran sendiri masuk Islam.
           Berdasarkan diskusi saya dengan seorang teman, beliau mengatakan bahwa kelompok ahlul kitab sudah tak ada lagi pada masa sekarang karena kitab-kitab selain Al Quran sudah tidak murni lagi alias banyak perubahan yang diubah oleh manusia (revisi). Wallahualam.
Sekalipun perkawinan beda agama dibenarkan, namun hal ini memiliki syarat yaitu apabila ditempat tinggal lelaki tersebut perempuan muslimnya sedikit, lebih banyak ahlul kitabnya. Karena Indonesia mayoritas penduduknya muslim, syarat untuk mempergunakan dispensasi tersebut tidak ada. 


               Di Indonesia, hukum pernikahan diserahkan kepada agama masing-masing. Sehingga untuk pernikahan beda agama itu tidak diperbolehkan. Namun faktanya yang banyak terjadi di Indonesia, pasangan beda agama tetap bisa menikah dengan cara mengikuti salah satu agama (penundukan agama), lalu kembali lagi ke agama masing-masing atau dengan menikah dua cara (dua kali) ; sesuai dengan agama masing-masing. Adapun cara lain yaitu dengan menikah di luar Indonesia seperti di Singapura.


Pilihlah yang memiliki keberagaman Islam yang kuat sebagai pasangan hidupmu, niscaya engkau akan diberkati (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud) 




2.






Referensi :



Dr. Setiawan Budi Utomo. 2003. Fiqih Aktual. Jakarta: Gema Insani
Dr.Tutik Hamidah, M.Ag. 2011. Fiqh Perempuan Berwawasan Keadilan Gender. Malang:UIN-Maliki Press
Dr. Yusuf Qardhawi.
1995. Fatwa-fatwa Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Pers

H.E. Hassan Saleh. 2008. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers


No comments